Sunday, December 29, 2019

Jamet (Jawa Metal) : Fenomena Culture Shock di Jakarta Yang Menjadi Sebuah Kesalahpahaman

"Dasar jamet"
"Aaaa... Jamet"
"Ngapain dah lu begitu, dah kaya jamet"

Gua yakin kata-kata itu pasti sering lu denger baik itu di tongkrongan, atau bahkan dari mulut lu sendiri. Saat ini jamet seolah udah jadi trademark di Jakarta. Ibarat kata misalkan ada orang dari luar daerah nanya : "eh, Jakarta khas nya apaan sih?" lalu kita bisa jawab : "gado-gado, kerak telor, sama... jamet"

Ya ga gitu juga ya.



Lalu sebenernya apaan sih jamet itu. Well, pada dasarnya Jamet adalah gabungan kata dari 'Jawa' dan 'metal'. "kok jawa?" "kok metal?".

Mari kita bahas pertanyaan pertama : "Kenapa Jawa? Rasis lo!" Sabar weh jangan ngegas dulu, tanpa bermaksud rasis, pada awal perkembangannya memang rata2 dari mereka berasal dari etnis Jawa, dan biasanya mereka adalah para pendatang baru yang 'kaget' dalam merasakan lifestyle ibukota yang tentu jauh berbeda dari kota asalnya. Hal yang menurut mereka keren atau sedang menjadi trend di kota asalnya, biasanya berbanding terbalik dengan yang sedang menjadi trend di Jakarta. Dalam bahasa ilmiah, hal ini disebut dengan 'gegar budaya' atau 'culture shock', yang biasa dialami oleh orang-orang sebagai bentuk kebingungan atau disorientasi ketika mereka memasuki lingkungan baru dengan budaya yang berbeda dengan lingkungan asalnya.

Hal tersebut biasa dirasakan oleh orang yang berpindah dari desa ke kota, dari kota ke kota, dan dari suatu negara ke negara lain. Sepengamatan gua dan berdasarkan cerita dari orang2 terdekat, culture shock ini biasanya terjadi hanya dalam waktu yang lumayan singkat, yakni kurang dari 2 minggu. 2 minggu tersebut adalah rata-rata waktu yang diperlukan bagi mereka untuk beradaptasi dengan lingkungannya yang baru. Biasanya, cepat atau lambatnya masa adaptasi ini tergantung dari pola pikir dan lingkungan sekitar.

Mengingat Jakarta adalah kota dengan daya tarik terbesar di Indonesia, wajar rasanya setiap tahun, atau bahkan setiap bulannya, banyak sekali kita melihat orang2 pendatang baru yang kaget dengan keadaan dan pergaulan disini.

Kita lanjut ke pertanyaan kedua : "Kenapa metal? Kenapa ga dangdut atau Jazz?", perkembangan musik metal, punk, rock dan sejenisnya semakin kencang di dekade 2000-2010, band2 seperti Marjinal, Superman Is Dead, Sosial Sosial, dkk. masing-masing mengalami masa kejayaannya. You know, genre musik biasanya berbanding lurus dengan fashion penggemarnya; Jazz/Klasik biasanya sering dibalut dalam acara formal dengan dress code tertentu. Pop/EDM lebih casual, dangdut lebih santai, sementara metal/punk dan sejenisnya punya keunikannya sendiri. Pada awal2 boomingnya musik ini di tanah air, biasanya pakaian wajib saat nonton konser adalah sepatu boots yang panjangnya ampe tulang kering, celana pensil, baju ketek (tulisannya biasanya Ramones), dan rambut mohawk.

Nah, disini cerita dimulai, dimasa itu konser2 punk/metal banyak banget, biasanya ada di daerah Pengasinan & Bintaro. Bahkan sampe TVRI waktu itu nayangin live concert. Konser yang diadakan oleh para promotor ini menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka yang berada di luar daerah (terutama Pulau Jawa) untuk datang nonton langsung band favoritnya di Jakarta. Awalnya cuma mau nonton, banyak juga yang pada akhirnya jatuh cinta dengan pesona kota ini dan memutuskan untuk tinggal lebih lama, hitung2 mengadu dan memperbaiki nasib.

Dengan kata lain, di masa itu mayoritas anak2 muda pulau jawa sedang menggilai musik keras, termasuk gua. Ketika mereka datang ke kota ini, mereka juga membawa identitasnya, termasuk selera musik dan cara berpakaiannya. Itulah mengapa mereka disebut Jamet, karna mereka mayoritas dari mereka adalah etnis Jawa yang mencintai musik metal dengan segala fashionnya (rambut mohawk, celana pensil, sneakers tinggi). Dari situ lah juga muncul istilah jawa metal : orang-orang jawa di Jakarta yang biasanya menggemari musik metal.

Gua tahu banyak dari orang2 Jawa yang tersinggung dengan istilah ini. Tapi menurut gua ya mau begimana lagi, istilah ini sudah melekat di benak dan lisan warga Jakarta. Andai di masa2 itu, ketika urbanisasi sedang gencar2nya, yang banyak datang ke Jakarta adalah etnis Bugis, pasti sekarang istilahnya Bumet/Bugis Metal, atau Mamet/Makassar Metal.

Jadi, Jamet bukanlah sebuah istilah untuk mendiskreditkan etnis Jawa di Jakarta, ya. Namun sebagai ungkapan atau sebutan bagi mereka yang sedang mengalami culture shock di kota ini. Lambat laun, mereka juga pasti akan menjadi Jakartans yang seutuhnya, kok. Kenapa kok makin kesini makin banyak Jamet? Ya karena setiap hari, bulan, dan tahunnya banyak warga yang keluar-masuk Jakarta. Jadi kalo ada satu orang yang sudah sembuh dari culture shock di kota ini, pasti akan datang lagi yang baru, begitu siklusnya.

Anyway, beberapa tahun lagi ibukota juga mau pindah. Bukan ga mungkin juga suatu saat kami warga Jakarta akan pindah kesana dan mengalami culture shock serupa, sehingga nantinya kami akan disebut Jakmet (Jakarta Metal) oleh warga ibukota baru :))

No comments:

Post a Comment